Mewujudkan Rumah Yang Menyenangkan Bagi Keluarga
Yogyakarta (04/08)—Riana Mashar, dosen FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta mengatakan bahwa keluarga yang menyenangkan adalah keluarga yang anggotanya punya rasa saling memiliki dan berkontribusi. “Agar rasa saling memiliki dan berkontribusi itu bisa terpenuhi dengan baik sebenarnya itu ada di family value yang bisa kita kembangkan. Sebuah keluarga kuat dan baik adalah keluarga yang punya value,” katanya.
Hal tersebut disampaikan Riana Mashar dalam Covid-19 Talk Senin (3/8) dengan tema “Menjadikan Rumah Yang Menyenangkan Bagi Keluarga”. Covid-19 Talk kali ini menghadirkan nara sumber Dr. Riana Mashar, M.Si. psikolog., Lya Fahmi seorang psikolog dan Muttaqien, MPH. AAK., anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dengan moderator Ratna Yunita Setiyani S. M.Si., psikolog.
Di awal paparannya Riana mengatakan bahwa berdasarkan data dari Layanan Dampingan Psikososial (LDP) MCCC PP Muhammadiyah masalah utama yang dirasakan sebagian besar orang yang harus dirumah karena pandemi Covid-19 adalah hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan psikologis. “Yang dikeluhkan klien sebagian besar adalah bukan persoalan finansial, walaupun itu mesti juga pasti dialami. Kalau pada anak-anak ternyata kemarahan-kemarahan yang ditunjukkan oleh orang tua bisa membuat anak-anak kita merasa tidak nyaman, belum lagi kalau orang tua ternyata tidak cukup sabar mendampingi anak-anak” ungkapnya.
Tugas dari sekolah, sekolah yang tidak tatap muka langsung, kejenuhan selama berada di rumah dan friksi dalam interaksi antar saudara kandung berpotensi membuat anak menjadi stress selama harus dirumah. “Kalau kita sebagai orang tua tidak benar-benar menyikapi ini dengan emosi yang positif maka kondisi ini pasti akan jadi sumber ketidakbahagiaan di keluarga kita,” lanjut Riana.
Untuk bisa membuat keluarga bahagia dan tenang menurut Riana sesuai konsep dari WHO maka tidak hanya kebutuhan kebutuhan biologis (makanan, minuman) dan psikologis saja yang harus terpenuhi namun juga kebutuhan sosial, spiritual dan agama. Agar orang tua bisa memahami pemenuhan kebutuhan anak-anak, maka menurutnya orang tua juga harus memahami tahap perkembangan anak dan mempunyai kepekaan terhadap berbagai macam kondisi anak.
Sementara Lya Fahmi mengawali paparannya berjudul “Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi” dengan menyampaikan teori sistem Brenfonbenner dimana bagi individu ada microsystem, mesosytem, exosystem dan macrosystem yang berpengaruh dalam kehidupannya. “Inti dari teori ini adalah ketika terjadi perubahan di salah satu titik, itu sangat mempengaruhi titik yang lain. Ketika ada yang berubah di macrosystem maka di exosystem sampai individu itu akan mengalami perubahan,” katanya.
Menurut Lya pandemi Covid-19 membuat banyak perubahan yang membutuhkan adaptasi mulai dari orang tua harus bekerja dari rumah, anak harus belajar dirumah sampai timbulnya perasaan tidak aman. Perubahan yang terjadi pada salah satu anggota keluarga baik orang tua atau anak, akan berdampak pada yang lainnya. Untuk menghadapinya maka orang tua dalam keluarga harus mempunyai kemampuan dalam menghadapi krisis.
Lya mengatakan untuk menghadapi krisis akibat pandemi Covid-19 orang tua dapat melakukan beberapa langkah yaitu pertama menyadari, menerima dan regulasi emosi, kemudian adaptasi kegiatan dan evaluasi. “Pandemi ini sebenarnya stressor tapi bukan hal yang bisa kita hindari, apapun stressornya. Bagaimana keluarga bertahan dalam menghadapi pandemi, dikembalikan bagaimana keluarga memandang pandemi apakah dipandang sebagai suatu hal buruk atau dipandang sebagai tantangan,” ujarnya.
Narasumber terakhir, Ahmad Muttaqien, yang mempunyai 3 orang anak berbagi pengalaman selama pandemi Covid-19 ini mengkondisikan anak-anaknya dalam menjalani hari-hari selama harus berada dirumah. Ahmad Muttaqien bahkan di awal bulan Maret 2020 sempat harus menjalani isolasi mandiri dirumah karena pernah mengikuti rapat di Jakarta yang diikuti oleh peserta lain yang ternyata positif Covid-19 dan dua diantaranya meninggal. Selama harus dirumah inilah Muttaqien berusaha mengkondisikan anak-anaknya untuk menjalani waktu agar lebih bermanfaat.
Muttaqien berdiskusi dengan anaknya paling besar, kelas XII SMA bernama Nuha, apa yang bisa dilakukan agar bisa menjadi skill baru baginya. “Setelah ngobrol panjang lebar akhirnya dia punya ide untuk membikin animasi, jadi dia dulu memang suka menggambar dari kecil. Dia belajar sendiri dari youtube, betul-betul dari nol” katanya.
Dari belajar mandiri tersebut, Muttaqien menyampaikan anaknya sampai bisa membuat video animasi, kemudian pernah mengikuti sebuah lomba yang diselenggarakan oleh Kemendikbud dan menjadi juara keempat untuk video animasi pertama yang dibuatnya, bahkan dalam rangka hari anak nasional tanggal 23 Juli 2020 lalu karyanya ditampilkan di beberapa videotron di Yogyakarta. “Kita menggali potensi dia apa yang ada kemudian kita kasih tantangan, kemudia juga apresiasi kasih reward,” pungkasnya. (*)
Budi Santoso, S.Psi.
Tim Media MCCC PP Muhammadiyah