Keluarga Menjadi Pelindung Utama Terhadap Kekerasan Disabilitas di Masa Pandemi
Yogyakarta, (20/08) – Keluarga menjadi komponen yang paling lekat sebagai pelindung bagi anak penyandang disabilitas agar terhindar dari kekerasan yang sedang marak terjadi selama pandemi ini. Bahkan dilaporkan bahwa beberapa kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas menjadi momok mengerikan yang sering terjadi namun tidak tertangani secara tuntas oleh hukum.
Beberapa persoalan inklusifitas di Indonesia saat ini memang belum terlaksana dengan merata, salah satunya kesetaraan yang ada pada penyandang disabilitas. Terlebih dalam situasi pandemi seperti ini, anak dengan kebutuhan khusus rentan mengalami suatu kekerasan baik secara internal maupun eksternal. Maka peran keluarga kini menjadi sangat krusial untuk bisa melindungi dan memenuhi kebutuhan daripada anak penyandang disabilitas di masa pandemi.
Dalam Covid-19 Talk “Merawat Anak Berkebutuhan Khusus di Era Pandemi Covid-19” di sore hari ini Dr. Arni Suwanti, M.Si selaku Direktur CIQAL (Center for Improving Qualified Activities for Persons with Disabilities) menyampaikan bahwa pemenuhan kebutuhan bagi anak disabilitas itu belum banyak teradvokasi karena implementasi yang ada dilapangan rupanya tidak seperti yang diharapkan.
Adapun salah satu hambatan yang banyak terjadi adalah dalam bidang pendidikan yaitu infrastruktur dan sumber daya yang tidak memadai. Maka dapat dipahami bahwa fasilitas di berbagai aspek kehidupan bagi penyandang disabilitas sebetulnya belum diadakan dengan baik oleh pemerintah.
Bahkan Dr. Arni juga melaporkan dari data yang dimilikinya bahwa selama pandemi ini terdapat 75 kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas namun hanya 2 kasus yang dapat terproses ke jalur hukum. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh kesaksian yang tidak memenuhi syarat. Padahal korban penyandang disabilitas memiliki kesulitan dalam berkomunikasi maka peluang untuk menjadi sasaran empuk perilaku kekerasan akan terus terjadi.
Ega Asnatasia Maharani, M.Psi., Psikolog selaku dosen Universitas Ahmad Dahlan menyampaikan bahwa dalam kasus seperti itu maka peran keluarga terutama orang tua itu sangatlah penting “pihak yang paling dekat adalah keluarga jadi harus dikuatkan, punya pemahaman pengetahuan, kemampuan regulasi emosi dan komunikasi positif” ujarnya. Orang tua harus menjadi garda terdepan dalam pemulihan fisik maupun psikis anak disabilitas pada saat mengalami kekerasan dan mengembalikan perasaan terlindungi.
Selain orang tua, pihak – pihak tertentu juga memiliki peran di dalamnya terkhusus pada aparat hukum dan komunitas – komunitas pendukung disabilitas agar dapat membuka jalan inklusifitas bagi penyandang disabalitias di tengah masyarakat di masa pandemi ini “inilah yang menjadi tantangan kita sehingga harus berkolaborasi dengan berbagai pihak” ungkap Dr. Arni.(*)
Budi Santoso, S.Psi.
Tim Media MCCC PP Muhammadiyah
[…] kita saksikan webinar psikologi tentang Menyikapi Kasus Fethisisme dan Swinger Selama Pandemi Covid19, […]
[…] bantuan pelayanan bagi para penyintas. Berkat pelayanan yang cepat dan tanggap di situasi pandemi inilah, masyarakat berikan kepercayaan penuh kepada Muhammadiyah untuk bisa membantu penyintas […]